Sesaat setelah Abu Bakar dilantik sebagai Khalifah pertama, dalam pidatonya antara lain beliau berkata : "Dukunglah aku bila aku benar, tapi tegurlah aku bila aku berbuat salah". Mendengar itu, Umar langsung menyahut : "Demi Allah, jika engkau menyimpang dari jalan Allah dan Rasul, aku akan menegurmu dengan pedangku". Betapa bersyukurnya Abu Bakar mendengar jawaban Umar yang tegas dan berani, namun mengandung nilai-nilai demokrasi itu.
Peristiwa diatas menggambarkan adanya kepedulian timbal balik antara penguasa dengan rakyat. Seorang penguasa/pemimpin dipilih dan diangkat oleh suatu kelompok dengan tujuan untuk mengorganisasikan serta memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut. Oleh karenanya, manakala si pemimpin sudah mulai bergeser dari tujuan dan ketetapan yang telah disepakati bersama, anggota-anggota kelompok harus secepatnya mengaktifkan dan melakukan fungsi sebagai alat kontrol atau pengawas.
Kesempatan menjadi pemimpin bukanlah kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi diatas pribadi-pribadi yang lain, melainkan kesempatan untuk mengamalkan/mengabdikan segala kekuatan, pikiran dan kemampuannya bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Ya, pemimpin pada prinsipnya adalah abdi masyarakat.
Masyarakat Adalah Inti
Sejarah teori kedaulatan didunia menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non demokratis kepada yang demokratis. Semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan bagi kebudayaan global khususnya di Eropa, dalam Ilmu Negara muncullah pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan. Ajaran teori Kedaulatan Tuhan yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada Raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan Raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang Raja hanya tunduk dan bertanggungjawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka kehendak dan perintah raja adalah perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Bahkan Raja James I dari Inggris pernah berkata : "Raja adalah penjelmaan Tuhan di bumi. Kedudukan Raja adalah sesuatu yang paling luhur didunia, karena raja itu tidak saja orang kepercayaan Tuhan yang didudukkan diatas singgasana Tuhan, tetapi malahan oleh Tuhan sendiripun ia disebut Tuhan".
Ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika Raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada Raja baru yang menggantikannya. Disinilah muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa Negaralah yang memberi kekuasaan kepada Raja, bukan sebaliknya.
Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (hukum) ? Krabbe menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut Von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum, dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Ajaran ini dikenal dengan teori Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat secara jelas terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak.
Meskipun demikian, peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belumlah begitu menonjol. Oleh karenanya timbul ajaranKedaulatan Rakyat yang masih berlaku sampai sekarang. Teori Kedaulatan Rakyat menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau beberapa orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan. Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tadi. Akan tetapi sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kepercayaan tadi.
Sekarang nyatalah bahwa rakyat pada prinsipnya adalah pemimpin dari suatu negara, yang kemudian mewakilkan kepada beberapa anggotanya. Ibarat mobil, rakyat adalah setir-nya yang akan menentukan arah kemana mobil itu ditujukan ; sedang roda adalah perumpamaan bagi orang-orang yang ditunjuk rakyat untuk membawa mobil itu kearah yang telah ditetapkan.
Sistem pemerintahan Indonesia saat inipun -- secara teoritis -- menganut paham kedaulatan rakyat, dimana MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat yang bertugas menentukan haluan negara. Betapa manis dan kompaknya kerjasama antara MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dengan pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyat tersebut. Dan, betapa indahnya mekanisme kerja antara keduanya.
Karenanya, sangat ironis sekali jika keindahan itu sekarang justru terbalik, rakyat takut mengungkapkan pikiran dan aspirasinya kepada penguasa, rakyat memandang penguasa sebagai tuannya, dan sebagainya. Keindahan itu telah ternoda. Rakyat yang mestinya berada diatas justru dibawah, dan penguasa yang mestinya adalah mandataris rakyat justru menjadi tuan dari rakyatnya. Ini berarti telah terjadinyaretradisionalisasi hubungan patron - client dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Orang Jawa bilang, telah terjadi wolak - waliking jaman.
Apa penyebab utama dari perubahan yang amat mendasar itu ? Bisa jadi karena rakyat bersikap masa bodoh, tidak peduli dengan lingkungan, dan apatis terhadap perkembangan politik dengan berpikir : "yang penting hak-hak saya tidak dilanggar ...". Tetapi bisa jadi pula disebabkan oleh sikap pemerintah yang terlanjur merasa nikmat, sehingga berusaha mencari legitimasi, yakni dengan menempuh cara-cara -- baik yang benar maupun tidak -- untuk melestarikan kekuasaannya, paling tidak untuk mempertahankan kekuasaan itu lebih lama dari yang seharusnya.
Dalam makalah berjudul Administrasi Negara Indonesia, Prospek dan Strategi Pendayagunaannya Dalam PJPT II yang dikeluarkan LAN Perwakilan Jawa Barat, disinyalir bahwa karena aparatur negara yang ada saat ini adalah aparatur yang mewarisi sistem administrasi kolonial yang berbaur dengan budaya feodal, maka dalam pelaksanaan jabatannya cenderung menampilkan rangkaian kekuasaan dan kewenangan, sehingga dalam ketidaktertiban administrasi memberi peluang bagi aparatur/pejabat untuk menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan kebiasaan jelek lainnya, yang menjauhkan posisi aparatur negara dari masyarakat yang harus dilayani dan diayomi.
Mudah-mudahan saja prakiraan diatas tidak benar. Mudah-mudahan pula tidak sedang timbul gejala Machiavellisme atauShang Yang-isme yang berprinsip bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, terlebih dahulu harus memperlemah rakyatnya. Dan Memang, tulisan ini tidak bertujuan untuk menganalisa kausalitas dan jalan keluar bagi masalah-masalah "berat" tersebut. Penulis, secara sederhana ingin mengajak kepada masyarakat untuk menyadari posisinya sebagai mitra atau partner yang sangat dibutuhkan oleh penguasa (pemerintah) dalam mencapai tujuan bersama, terutama bagaimana masyarakat mengawasi, menilai dan mempengaruhi segala sikap, persepsi dan peri laku pemerintah. Dengan kata lain, bagaimana masyarakat memberikan partisipasinya dibidang politik kepada mitranya.
Partisipasi politik menurut Samuel Huntington (1990 : 4 - 18) adalah kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara preman (private citizen) dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif dan tidak efektif. Adapun jenisnya antara lain berupa kegiatan pemilihan, lobbying, kegiatan organisasi, mencari koneksi (contacting) dan tindak kekerasan (violence).
Permasalahan yang sangat krusial yang berkaitan dengan tulisan ini adalah faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat ? Berdasarkan penelitian para ahli (termasuk Huntington sendiri), pada tingkat mikro, yakni tingkat individu dan konteks kelompok dimana ia bertindak, hal itu sebagian dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan dalamstruktur status, baik status pendidikan maupun penghasilannya.
Variabel status disini sangat berkaitan dengan variabel sikap, yakni perasaan mempunyai efektivitas dan kompetensi politik. Dari sini dapat ditarik suatu pola umum bahwa semakin tinggi status seseorang akan semakin tinggi pula partisipasi politiknya.
Akan tetapi dalam kondisi tertentu, pola umum tersebut dapat menyimpang. Banyak contoh yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan hal ini, misalnya golongan terpelajar Filipina tidak menunjukkan partisipasinya dalam Pemilu 1949, disebabkan karena anggapan bahwa suaranya tidak akan berharga sedikitpun. Juga kelompok intelektual Cina Malaya yang tidak memberikan suara pada Pemilu 1964 karena adanya diskriminasi dan penghapusan hak pilih bagi mereka. Begitu juga golongan melek huruf di India yang kurang berminat untuk memberikan suara, menghadiri rapat politik atau menyumbang uang untuk kampanye.
Dalam ketiga contoh diatas, partisipasi masyarakat yang buta huruf justru lebih tinggi dibanding kelompok cendekiawan, dikarenakan mereka tidak menyadari efektivitas suara mereka dalam suatu pengumpulan pendapat.
Adapun status ekonomi -- baik dalam arti kemandirian maupun ketergantungan ekonomi -- kasus di Kolombia memperlihatkan bahwa rakyat kecil yang tidak mampu serta tidak memiliki tanah, mudah sekali dipengaruhi oleh kelompok yang mampu. Ini berarti terjadi suatu partisipasi yang dimobilisasi untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh karenanya, di daerah-daerah pedesaan Amerika Latin, pemilikan tanah merupakan syarat mutlak bagi partisipasi politik yang otonom.
Disamping status pendidikan dan penghasilan, ternyata ada lagi faktor yang mempengaruhi partisipasi, yaitu pekerjaan. Partisipasi orang-orang Negro di Amerika pada pemungutan suara tahun 1960-an berkaitan dengan sumber penghasilan yang relatif tidak tergantung kepada kontrol orang-orang kulit putih.
Jika secara teoritis telah ditemukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi rakyat, maka secara teoritis pula dapat ditentukan langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk membawa partisipasi masyarakat itu ke arah yang diinginkan.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, tentunya kita semua ber-keinginan untuk meningkatkan peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, kita harus berusaha dari dua arah, yaitu dari bawah dan dari atas. Usaha dari bawah dimaksudkan sebagai usaha dari masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran politiknya serta untuk lebih memahami arti pentingnya suara bagi sebuah perubahan. Suatu negara yang menganut sistem demokrasi dengan suara terbanyak, satu suara bisa berarti merubah dunia. Dan memang, pada dasarnya suara adalah pencerminan dari pemikiran, keinginan dan harapan dari orang yang mengeluarkan suara tersebut. Karena itu, keputusan untuk tidak memberikan suara pada suatu pengumpulan pendapat, sama saja dengan tidak memperhatikan kepentingan sendiri.
Adapun usaha dari atas dimaksudkan sebagai sikap, perilaku dan kemauan politik pemerintah untuk menciptakan suasana yang mendukung partisipasi masyarakat. Untuk itu, agar kasus-kasus di atas tidak muncul kembali, paling tidak pemerintah harus melakukan tiga usaha. Pertama, tumbuhkan kepercayaan di hati rakyat bahwa suara mereka benar-benar menjadi pertimbangan untuk memutuskan suatu masalah. Tidak ada artinya jika semua suara yang masuk hanya sekedar ditampung atau diterima saja, yang justru akan menjadikan kefrustasian dan keapatisan rakyat. Ini berarti pula bahwa prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) semestinya tidak hanya dipegang pada waktu pelaksanaan Pemilu, tetapi juga pada setiap keputusan yang menyangkut nasib orang banyak.
Kedua, pemerintah harus lebih intensif meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Dengan terpenuhinya dua faktor itu maka pengetahuan masyarakat akan efektivitas suara cukup tinggi, serta diharap-kan tidak timbul mobilisasi partisipasi. Ketiga adalah menciptakan suasana aman dan tenang dalam artian psikologis. Seseorang tidak bisa secara bebas menentukan sikap dan pilihan jika ada tekanan-tekanan yang tidak kelihatan -- dari manapun datangnya -- yang secara moril tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk menentukan sikap dan pilihan lain. Jadi, rasa aman dan tenang disini dapat diartikan juga bahwa penentuan bentuk dan jenis partisipasi tidak menimbulkan ekses-ekses negatif bagi orang yang bersangkutan seperti kesulitan kenaikan pangkat, kesulitan perolehan pekerjaan, dan sebagainya. Jika rasa aman ini belum terjamin, sama artinya dengan adanya mobilisasi partisipasi secara psikologis.
Suatu harapan agar posisi aparatur negara -- khususnya menyongsong PJPT II -- beralih dari subyek pembangunan yang dominan menjadi fasilitator, motivator dan dinamisator pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat, adalah wajar sekali. Ini berarti -- seperti dikatakan Moerdiono (Birokrasi dan Administrasi Pembangunan) -- dengan rela hati Pemerintah harus bersedia mengubah peran dalam pembangunan dari ing ngarsa sung tuladha menjadi tut wuri handayani.
Pengawasan Masyarakat
Dari hal-hal yang dikemukakan diatas, bisa kita analisa bahwa sebenarnya peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan khususnya dibidang pengawasan terhadap aparatur negara, sangatlah memungkinkan. Tinggal bagaimana kita semua mau melaksanakan dengan itikad baik demi kepentingan dan kemajuan bersama.
Ungkapan melu handarbeni dan melu hangrungkebi mengajak kita untuk ikut merasa memiliki dan ikut merasa bertanggungjawab atas nasib bangsa dan negara. Kesejahteraan dan kemakmuran bangsa adalah kebanggaan bersama, dan kehancuran bangsa adalah dosa bersama.
Pertanyaannya sekarang adalah, adakah pedoman untuk melaksanakan pengawasan masyarakat ? Secara yuridis formal memang belum ada, tetapi dalam GBHN diamanatkan bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila antara lain tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat. Salah satu bentuk dari partisipasi itu adalah pengawasan masyarakat (Wasmas).
Wasmas sangat diperlukan karena keterbatasan kemampuan pengawasan melekat Waskat) dan pengawasan fungsional (Wasnal). Adapun tujuannya adalah makin meningkatnya tanggung jawab pada peran serta masyarakat dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu aparatur pemerintah berkewajiban untuk selalu memberikan kesempatan agar masyarakat mampu dan mau melaksanakan Wasmas dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun kecilnya nilai informasi yang disampaikan, Wasmas harus diperhatikan dan dihargai. Surat kaleng sekalipun perlu mendapat perhatian, karena seringkali isi informasi yang disampaikan ternyata benar dan sangat berharga.
Meskipun demikian, pelaksanaan Wasmas itu sebaiknya memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti obyektif (tidak bersifat memfitnah), dimaksudkan untuk perbaikan, disampaikan secara jelas dan lengkap (kalau perlu dengan bukti-bukti), serta memberitahukan bentuk-bentuk pelanggaran, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang atau kesalahan yang terjadi. Disamping itu hendaknya dijelaskan pula patokan-patokan yang dilanggar, dan memuat saran-saran serta identitas orang yang menyampaikannya.
Tentu saja, penyampaian Wasmas itu tidak harus langsung melalui tatap muka dengan pejabat, secara tertulis melalui Kotak Pos 5000 (Kantor Wakil Presiden), melalui media massa atau tuntutan ke Pengadilan, akan teta-pi bisa juga disampaikan secara tidak langsung melalui Lembaga Perwakilan Rakyat, organisasi profesi, atau lembaga-lembaga sosial seperti Yayasan Lem-baga Konsumen, Lembaga Bantuan Hukum, dan lain-lain.
Agar Wasmas dapat berjalan lebih optimal, maka pemerintah harus memperhatikan beberapa hal antara lain :
· Secepatnya memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan-tindakan yang telah diambil, atau menjelaskan duduk persoalannya.
· Dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan karena masih memerlukan penelitian, maka tanggapan dilakukan secara bertahap : pertama, menyampaikan penghargaan dengan penjelasan akan segera dilakukan penelitian, dan setelah penelitian selesai, baru disampaikan tanggapan.
· Mengambil langkah tindak lanjut dalam bentuk usaha penertiban, peningkatan dan pembinan untuk merehabilitasi, meningkatkan dan membina citra instansi.
Sumber : http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/08/optimasi-pengawasan-masyarakat-strategi.html
No comments:
Post a Comment